Amanat UUD 1945 pasal 34 yang berbunyi Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara merupakan cita-cita mulia yang digagas oleh founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Seiring dengan perjalanan waktu sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang konsep tersebut telah dijalankan dengan adanya departemen social, kebijakan bantuan langsung tunai, kebijakan bina lingkungan BUMN dan lain-lain. Akan tetapi angka kemiskinan kian hari kian meningkat saja yang membuat beban negara menjadi semakin berat untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Peran masyarakat dan swasta sangat diperlukan untuk ikut serta menjalankan amanat pasal 34 tersebut diatas, dan sejarah telah mencatat beberapa aktivitas pemuka agama Islam dan masyarakat dalam memelihara fakir miskin. Sebagaimana waliyullah Sunan Drajat yang berdakwah dalam kisaran abad VI dengan ajarannya berilah makan pada orang kelaparan, berilah tongkat pada orang buta, berilah pakaian pada orang yang compang-camping. Juga KH.Ahmad Dahlan yang berdakwah di abad XX menekankan pengamalan Surah Al Ma’un pada jam’iyyahnya agar memperhatikan fakir miskin.Demikian prestasi umat Islam dalam memelihara fakir miskin sebagai bagian dari ajaran agamanya yang luhur.
Seiring dengan perkembangan waktu dimana aktivitas zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan qurban sudah terorganisir oleh Lembaga Amil Zakat swasta dan Badan Amil Zakat instansi pemerintah, maka amanat pasal 34 UUD 1945 dapat dijalankan dengan baik. Tetapi ada kata yang perlu disesuaikan dengan semangat Lembaga dan Badan Amil Zakat yaitu kata “dipelihara” menjadi “diberberdayakan”. Tanpa bermaksud masuk dalam ranah politik dengan maksud mengamandemen konstitusi negara cukuplah terpatri dalam sanubari segenap pegiat zakat dalam menjalankan amanat pasal 34 menjadi Fakir Miskin dan anak-anak terlantar diberdayakan dengan zakat, infaq, shadaqah, wakaf, qurban.
Diberdayakan memiliki arti lebih kompleks yang didalamnya juga terkandung maksud dipelihara. Memelihara fakir miskin, anak-anak terlantar, kaum dhuafa dan segenap ashnaf zakat lainnya sebagai program awal sebelum memberdayakan. Perlu pemetaan beberapa factor dalam memelihara kemudian memberdayakan fakir miskin dan anak-anak terlantar antara lain usia produktifnya, lingkungan social dan potensi diri serta daerah.
Pemetaan usia, diperlukan untuk mengetahui usia pra-produktif, produktif dan pasca-produktif. Tidak ada batasan baku dalam pemetaan usia tersebut dimana terdapat anak-anak dibawah umur yang sudah terpaksa bekerja dan orang tua renta yang masih terpaksa bekerja. Menurut standar yang ditetapkan pemerintah, usia produktif adalah usia yang berada dalam rentang waktu 15 s/d 55 tahun, sehingga usia dibawah 15 tahun masuk dalam usia pra-produktif dan diatas 55 tahun sebagai usia pasca-produktif. Dalam memberdayakan fakir miskin dan anak-anak terlantar rentang usia tersebut bisa dipakai sebagai acuan walaupun tidak dapat diterapkan secara mutlak. Usia dibawah 15 tahun diberdayakan dengan jaminan pendidikan dasar serta pekerjaan yang menghasilkan tanpa mengganggu kegiatan belajar. Usia diatas 55 tahun sepanjang masih mampu bekerja perlu diberdayakan potensi kerjanya dengan pemeliharaan kesehatan yang cukup, mengingat dalam usia ini rentan sakit karena factor usia. Pemeliharaan penuh tanpa memberdayakan diberikan untuk usia diatas 55 tahun yang tidak lagi mampu bekerja.
Penanganan usia produktif 15 sd 55 tahun harus lebih besar pada porsi pemberdayaan dengan pelatihan kerja, modal usaha dan bantuan pemeliharaan kesehatan dikala sakit tidak mampu bekerja. Dengan keberhasilan memberdayakan usia produktif diharapkan kelompok usia ini mampu menopang golongan usia non-produktif.
Lingkungan social, perlu diberdayakan pula untuk keluar dari garis kemiskinan. Lingkungan social meliputi sikap mental masyarakat dalam memandang arti kerja sebagai aktivitas yang mulia. Pembenahan lingkungan social sebelum diberdayakan dapat dilakukan dengan diberikan bantuan langsung berupa sarana prasarana fasilitas umum, kesehatan, pendidikan dan dakwah Islamiyyah secara rutin untuk mengarahkan lingkungan social menuju pola pikir dan pemahaman agama yang benar. Tanpa pembenahan lingkungan social akan menjadikan masyarakat miskin menikmati bantuan langsung tanpa berminat untuk diberdayakan menuju kemandirian.
Potensi diri dan daerah, sebagai factor yang signifikan dalam pemberdayaan dimana model program yang dijalankan LAZ dan BAZ perlu disesuaikan. Potensi diri masyarakat pegunungan yang agraris bisa diberikan program pemberdayaan pertanian. Potensi masyarakat pesisir yang menjadikan laut sebagai sumber penghasilan bisa diberdayakan dengan pelatihan cara memperoleh, mengolah dan memasarkan hasil laut yang baik. Masyarakat miskin perkotaan juga perlu pemberdayaan potensi diri sesuai dengan potensi pasar terdekat.
Dengan jumlah penduduk mayoritas muslim dan potensi zakat yang besar, INSYA ALLAH masyarakat muslim mampu secara swadaya memberdayakan fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan zakat, infaq, shadaqah, wakaf, qurban. Dengan demikian amanat pasal 34 UUD 1945 dapat terlaksana tanpa harus menjadi beban pemerintah dan semakin lama beban tersebut dapat semakin berkurang atas swadaya zakat, infaq, shadaqah, wakaf, qurban masyarakat muslim dengan negara sebagai fasilitator potensi kreatif inovatif masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar